Monday, October 16, 2006

Dayak Punan Hulu Barito: antara Ada dan Tiada

Dayak Punan Hulu Barito: antara Ada dan Tiada



Punan adalah orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.

Matahari baru saja terbenam. Remang petang mulai menjamah Desa Tumbang Karamu. Di sana sini tampak tiang-tiang Toras sisa upacara Mandung dan DaLo menjulang gagah menantang langit.

Di hulu Barito ada tiga desa yang dianggap sebagai perkampungan orang Dayak Punan, yaitu Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang, dan Tumbang Topus. Penduduk ketiga desa ini menyatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Punan.

Namun, kalo kita bertanya pada mereka tentang Ot Siau atau Punan Berkaki Merah, mereka sendiri mengatakan tidak pernah melihat maupun bertemu. Namun mereka yakin bahwa Punan Berkaki Merah memang ada, dengan ciri unik, yaitu tangan dan kaki berwarna merah seperti kaki burung Siau.

Penduduk tiga desa itu membuat dua kategori Punan. Pertama, ”Punan Pemerintah”, yaitu orang-orang Punan yang bersedia tinggal-menetap di kampung. Kedua, Punan Siau yang tinggal di goa dan mengembara di rimba belantara. Orang-orang Karamu, Tunjang, dan Topus mengaku diri sebagai ”Punan Menetap”, serta bersaudara dengan Punan Siau yang dipercayai tinggal di hulu Sungai Borak.

Saudara dan leluhur

Siapakah orang Punan menurut orang Karamu, Tunjang, dan Topus? mereka pasti bilang bahwa orang Punan adalah leluhur mereka

etika dilakukan pemetaan partisipatif di Desa Tumbang Topus, didapat informasi bahwa dari 45 kepala keluarga hanya terdapat lima kepala keluarga yang tidak ada hubungan genealogis dengan Punan. Mereka adalah murni orang Siang-Murung atau Ot Danum.

Punan yang ”asli”, menurut orang-orang ini, adalah mereka yang tinggal di rimba belantara dan dalam goa-goa yang gelap. Kaki dan tangan mereka diwarnai merah dengan daun saronang atau jarenang. Seluruh tubuh mereka dilapis dengan sejenis jamur yang mengandung fosfor sehingga tampak menyala di kegelapan.

Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang membunuh binatang yang lengah. Jika bertemu dengan rusa yang sibuk memakan dedaunan, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberitahukan kehadirannya.

Ketika rusa itu terkejut dan lari, barulah ia memburunya. Mereka itulah pemburu sejati bersenjatakan sumpit, serta pantang menaklukan buruan dengan cara pengecut, yaitu mengintai diam-diam.

Sekalipun bisa bertutur banyak, tidak ada seorang pun dari penduduk tiga kampung itu pernah bertemu langsung dengan Punan Siau. Sabran dan beberapa orangtua lainnya hanya mengatakan pernah melihat jejak kaki, tetapi tidak pernah melihat orangnya. Menurut mereka, hal itu terjadi karena orang Punan Siau memiliki kata lamunan, yaitu mantra sakti untuk menghilangkan diri di balik sehelai daun.

Punan adalah kumpulan cerita menakjubkan. Dalam khazanah lokal Kalimantan, Punan selalu digambarkan sebagai manusia perkasa dan ahli berburu. Mereka dilihat sebagai orang yang berkekuatan supranatural tinggi. Mereka dapat menghilang dan mempunyai penciuman yang tajam. Alkisah, seekor kera akan jatuh dari pohon kalau memandang sinar mata orang Punan.

Mereka juga dilihat sebagai manusia istimewa penghuni hutan. Orang Punan juga memiliki pengetahuan akan obat-obat manjur, dari akar dan daun-daun kayu hutan. Konon, jika para perempuan Punan melahirkan, mereka akan sembuh dalam satu hari.

Kuburan Punan

Di Desa Tumbang Topus sudah tidak ada lagi yang murni Punan. Yang ada hanyalah campuran antara Punan dan orang Siang-Murung, Bahau, Benuaq, dan Ot Danum atau Kahayan. Toras, Potogor, dan Batang Pantar yang jumlahnya ada beberapa di kampung itu menunjukkan bahwa dalam ritual kematian mereka cenderung sebagai orang Ot Danum atau Siang Murung. Bagaimanakah mereka bisa mengidentifikasi diri sebagai keturunan Punan?

Jawaban atas pertanyaan di atas terdapat pada seonggok batu besar yang oleh orang setempat disebut dengan Batu Awu-BaLang. Melintasi Sungai Ponut, di antara rerimbunan pohon, terdapat bukit-bukit batu yang tersebar di sana-sini. Pada ceruk dinding salah satu bukit batu itu tampak tergolek dua tengkorak dan tulang-belulang manusia.

Menurut mereka, tengkorak dan tulang-belulang itu adalah milik dua tokoh Punan yang bernama Awu dan BaLang. Menjelang wafat, mereka mengamanatkan agar tulang-belulangnya jangan dikubur dalam tanah, tetapi diletakkan di ceruk batu, seperti layaknya orang Punan yang orang gunung atau bukit yang berdiam di goa batu.

Bagi orang Tumbang Topus, Batu Awu-BaLang bukanlah sekadar kuburan, tetapi merupakan monumen asal-usul diri karena di sana terdapat petunjuk bahwa leluhur mereka memanglah orang Punan.

Identitas Punan

Masyarakat Dayak di kaki Pegunungan Muller secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai ”Punan Pemerintah” dan ”Punan Menetap”. Pengakuan ini hendak menegaskan bahwa mereka adalah ”orang kampung” yang berbeda dari Punan liar yang hidup di hutan, bebas-lepas dari kontrol pemerintah.

Namun, identitas diri sebagai Punan, bekas Punan, atau keturunan Punan pun diracik sedemikian rupa sehingga menjadi wacana jalur leluhur yang memungkinkan mereka untuk mengklaim gunung, sungai, dan hutan sebagai tempat hidup. Memang tanpa ada kaitan dengan masa lampau dan leluhur, mereka bukanlah apa-apa.

Pengetahuan tentang Punan bukan hanya monopoli pakar antropologi. Orang Dayak sendiri sangat aktif dalam membangun identitas dirinya. Sebagai internal agen, mereka aktif mengonstruksi diri. Di Tumbang Karamu, Tumbang Tujang, dan Tumbang Topus, dengan tegas mereka mengatakan ”Kami bukan Punan Habongkot, bukan Punan Kareho, dan juga bukan Punan Siau. Kami adalah Punan Murung.”

Hampir seabad yang lalu, Carl Lumholtz, seorang penjelajah asal Norwegia, telah melakukan ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (1915-1916). Di hulu Sungai Busang ia bertemu dengan Punan Panyawung.

Namun kini, di awal abad ke-21, kalolah kita berkunjung ke hulu Sungai Murung, kita akan bertemu dengan Punan baru, yaitu Punan Murung, Punan yg sudah nggak asli lagi. Jadi, Punan itu ada dan tiada.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home